Tema kali ini berkaitan dengan kondisi yang dirasakan manusia di Bumi. Serangan dari Virus SARS-COV 2 ini membuat semua belahan dunia panik. Saya tidak mau turut pusing dengan pembahasan pandemi ini bagian dari Teori Konspirasi yang direncanakan oleh sekelompok orang berpengaruh kuat. Intinya, saya cuma berharap kondisi dunia membaik.
Saya sendiri sudah cukup pusing mengurus anak saat Januari 2020. Harusnya kami bisa liburan untuk merayakan ulang tahun ketiga dengan suka cita. Tapi kami harus melakukan hal yang sebaliknya. Anak saya harus dirawat di rumah sakit karena diagnosa bronkopneumonia. Panik bukan main karena gejalanya menurut saya tiba-tiba. Sekarang, saya cerita tentang pengalaman saya merawat anak saya ya. Jujur, menurut saya gejalanya mirip dengan Covid19/
Berawal dari anak yang malas bangun tidur pagi pada hari Minggu (05/01/2020). Biasanya dia semangat untuk nonton kartun sesuai jadwal tayang. Diajak main bola dan berlari juga tak semangat dan lebih banyak diam dan duduk. Makan juga tidak napsu. Memilih makanan, tapi sesudah diambil dan disuapi hanya makan satu atau dua suap. Saya pikir dia lagi Gerakan Tutup Mulut (GTM), tapi melihat dia meminta bukanlah GTM.
Awalnya saya tidak merasa ada yang aneh karena dia masih biasa berceloteh dan bermain puzzle atau masak-masakan. Meminta saya menjadi partner mainnya. Hanya saja saya melihat anak saya malas gerak, hal itu mengidentifikasi dia tidak baik-baik saja. Benar saja, siang hari mulai demam dengan suhu diatas 38 derajat celcius. Semakin memburuk sampai hari Selasa. Saya paksakan datang ke dokter spesialis anak subbidang neurologi. Karena anak saya pada senin malam sempat panas mencapai 40. Saya takut syarafnya kena karena suhu yang terlalu tinggi.
Setelah dari dokter, hasil darahnya menandakan dia ada infeksi virus dan bakteri. Bukan Dengue atau Typhus. Karena semuanya saya minta periksa, padahal saat itu asuransi kesehatan dari kantor suami sedang bermasalah. Amplop uang darurat mau tidak mau harus terbuka dengan aliran yang besar. Tapi balik lagi, urgensi seperti inilah gunanya si uang darurat.
Dokter hanya bilang, anak saya harus banyak istirahat, tidak ada radang, berarti dia bisa makan apa saja tanpa pantangan. Diberi obat dan disarankan untuk kembali dalam tiga hari jika tidak membaik. Malam hari, anak saya masih demam tapi tidak tinggi.
Pagi di hari Rabu, satu-satunya yang dimakan anak saya dari hari Minggu tidak makan normal adalah Ayam Golden Aroma dari A&W. Dia lihat iklan yang menayangkan ayam tepung. "Ma, aku mau Ayam." Langsung saya cari pilihan pesan makan dari aplikasi ojek online. Paling dekat ya si A&W, tak sampai 15 menit ayam datang, anak saya makan semuanya dari kulit sampai daging dan sisa sedikit saja daging yang menempel di tulang. Senang bukan main. Badannya juga terlihat lebih fit. Kami bermain di luar rumah, berlarian. Tapi masih lemas. Malam hari, suhunya mencapai 40,3 derajat celcius. Anak saya sudah tidak respon saat saya bangunkan. Sesekali dia terlihat seperti kaget dan sek-sekan (seperti sesak efek menangis tersedu-sedu). Suami saya sudah merasa ini hal yang tidak beres dia segera beli Ibuprofen Supp. Suhu badan langsung turun.
Kamis pagi, normal seperti tidak ada apa-apa semalam. Dia bangun pagi, tapi terlihat matanya sayu. Saya suapi telur ceplok dia mau sampai 2 suap saja. Lalu lanjut tidur saat menonton kartun kesayangannya.
Sampailah saya di Jumat, hari ketiga dari visit dokter. Keadaan anak saya memburuk. Sangat tidak biasa responnya saat saya ajak ganti diapers dan baju karena suhu badannya yang tinggi menyebabkan keringat terus membasahi bajunya. Sudah lapor ke suami, dia bilang oke untuk bawa lagi ke dokter. Kami sebelumnya sepakat untuk meminta dokter merawat anak kami di rumah sakit. Minimal ada asup makanan yang masuk ke tubuhnya karena lemas sejak Kamis siang.
Benar saja, malam itu anak saya tidak merespon semua pertanyaan dari dokter. Terlihat lemah dan lesu sekali. Dokter meminta saya dan suami untuk bawa anak ke lab untuk periksa darah lagi. Kali ini list yang harus diperiksa banyak sekali. Saat sudah ambil darah dan menunggu hasil. Suami berinisiatif mengajak saya makan di foodcourt. Kebetulan sekali ada gerai A&W (fast food favorit saya sejak kecil). Ponsel saya berdering, dokter menelpon agar saya segera kembali ke ruangannya tanpa harus membawa hasil lab. Suami yang sedang menunggu pesanan makanan meminta saya pergi lebih dulu ke ruang poli anak.
Agak kaget sebetulnya, dokter tersebut meminta anak saya untuk rawat inap. Lalu menjadwalkan untuk rekam thorax. Ia menduga anak saya mengidap bronkopneumonia. Dia bilang penyakit itu sedang menjadi perbincangan antar dokter di beberapa rumah sakit dan tidak hanya di Indonesia. Jujur saya dan suami juga tahu soal pneumonia Wuhan yang ciri-cirinya hampir sama dengan anak saya.
Tak pakai lama, saya dan suami setuju untuk rawat inap. Suami juga sudah siap meminta surat jaminan rawat inap dari kantornya. Jadi, suami langsung mengurus administrasi dengan segala drama uang jaminan rawat yang kami lupa bawa. Bermalamlah malam itu saya di rumah sakit. Suami saya tidak menginap karena ruang rawat yang tidak memungkinkan untuk dua penjaga pasien.
Berawal dari anak yang malas bangun tidur pagi pada hari Minggu (05/01/2020). Biasanya dia semangat untuk nonton kartun sesuai jadwal tayang. Diajak main bola dan berlari juga tak semangat dan lebih banyak diam dan duduk. Makan juga tidak napsu. Memilih makanan, tapi sesudah diambil dan disuapi hanya makan satu atau dua suap. Saya pikir dia lagi Gerakan Tutup Mulut (GTM), tapi melihat dia meminta bukanlah GTM.
Awalnya saya tidak merasa ada yang aneh karena dia masih biasa berceloteh dan bermain puzzle atau masak-masakan. Meminta saya menjadi partner mainnya. Hanya saja saya melihat anak saya malas gerak, hal itu mengidentifikasi dia tidak baik-baik saja. Benar saja, siang hari mulai demam dengan suhu diatas 38 derajat celcius. Semakin memburuk sampai hari Selasa. Saya paksakan datang ke dokter spesialis anak subbidang neurologi. Karena anak saya pada senin malam sempat panas mencapai 40. Saya takut syarafnya kena karena suhu yang terlalu tinggi.
Setelah dari dokter, hasil darahnya menandakan dia ada infeksi virus dan bakteri. Bukan Dengue atau Typhus. Karena semuanya saya minta periksa, padahal saat itu asuransi kesehatan dari kantor suami sedang bermasalah. Amplop uang darurat mau tidak mau harus terbuka dengan aliran yang besar. Tapi balik lagi, urgensi seperti inilah gunanya si uang darurat.
Dokter hanya bilang, anak saya harus banyak istirahat, tidak ada radang, berarti dia bisa makan apa saja tanpa pantangan. Diberi obat dan disarankan untuk kembali dalam tiga hari jika tidak membaik. Malam hari, anak saya masih demam tapi tidak tinggi.
Pagi di hari Rabu, satu-satunya yang dimakan anak saya dari hari Minggu tidak makan normal adalah Ayam Golden Aroma dari A&W. Dia lihat iklan yang menayangkan ayam tepung. "Ma, aku mau Ayam." Langsung saya cari pilihan pesan makan dari aplikasi ojek online. Paling dekat ya si A&W, tak sampai 15 menit ayam datang, anak saya makan semuanya dari kulit sampai daging dan sisa sedikit saja daging yang menempel di tulang. Senang bukan main. Badannya juga terlihat lebih fit. Kami bermain di luar rumah, berlarian. Tapi masih lemas. Malam hari, suhunya mencapai 40,3 derajat celcius. Anak saya sudah tidak respon saat saya bangunkan. Sesekali dia terlihat seperti kaget dan sek-sekan (seperti sesak efek menangis tersedu-sedu). Suami saya sudah merasa ini hal yang tidak beres dia segera beli Ibuprofen Supp. Suhu badan langsung turun.
Kamis pagi, normal seperti tidak ada apa-apa semalam. Dia bangun pagi, tapi terlihat matanya sayu. Saya suapi telur ceplok dia mau sampai 2 suap saja. Lalu lanjut tidur saat menonton kartun kesayangannya.
Sampailah saya di Jumat, hari ketiga dari visit dokter. Keadaan anak saya memburuk. Sangat tidak biasa responnya saat saya ajak ganti diapers dan baju karena suhu badannya yang tinggi menyebabkan keringat terus membasahi bajunya. Sudah lapor ke suami, dia bilang oke untuk bawa lagi ke dokter. Kami sebelumnya sepakat untuk meminta dokter merawat anak kami di rumah sakit. Minimal ada asup makanan yang masuk ke tubuhnya karena lemas sejak Kamis siang.
Benar saja, malam itu anak saya tidak merespon semua pertanyaan dari dokter. Terlihat lemah dan lesu sekali. Dokter meminta saya dan suami untuk bawa anak ke lab untuk periksa darah lagi. Kali ini list yang harus diperiksa banyak sekali. Saat sudah ambil darah dan menunggu hasil. Suami berinisiatif mengajak saya makan di foodcourt. Kebetulan sekali ada gerai A&W (fast food favorit saya sejak kecil). Ponsel saya berdering, dokter menelpon agar saya segera kembali ke ruangannya tanpa harus membawa hasil lab. Suami yang sedang menunggu pesanan makanan meminta saya pergi lebih dulu ke ruang poli anak.
Agak kaget sebetulnya, dokter tersebut meminta anak saya untuk rawat inap. Lalu menjadwalkan untuk rekam thorax. Ia menduga anak saya mengidap bronkopneumonia. Dia bilang penyakit itu sedang menjadi perbincangan antar dokter di beberapa rumah sakit dan tidak hanya di Indonesia. Jujur saya dan suami juga tahu soal pneumonia Wuhan yang ciri-cirinya hampir sama dengan anak saya.
Tak pakai lama, saya dan suami setuju untuk rawat inap. Suami juga sudah siap meminta surat jaminan rawat inap dari kantornya. Jadi, suami langsung mengurus administrasi dengan segala drama uang jaminan rawat yang kami lupa bawa. Bermalamlah malam itu saya di rumah sakit. Suami saya tidak menginap karena ruang rawat yang tidak memungkinkan untuk dua penjaga pasien.
Sabtu pagi, saya dan suami mengantar si anak periksa ke laboratorium radiologi. Lalu hasil radiologi dikirim ke ruang rawat inap pada malam hari, sehingga saat dokter visit ke ruangan hasilnya belum bisa dilihat. Kondisi anak saya memang lebih baik. Tapi masih lemas dan batuk yang sesekali berbunyi 'mengik'.
Minggu pagi, dokter datang membawa foto thorax. Saya dan suami pun mendengarkan diagnosa dokter. Fix, anak saya mengidap bronkopneumonia. Terdapat flek putih di bagian batang paru-parunya. Jujur, saya sempat shock saat mendengar hal itu. Dokter bertanya beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan kegiatan outdoor kami selama satu bulan terakhir. Ia menyarankan anak saya untuk rawat inap sampai hari Selasa. Alasannya agar bisa terpantau dan bisa di nebu untuk mengencerkan slem yang ada di paru-paru tersebut.
Seingat saya, dokter tidak meresepkan antibiotik. Vitamin dan beberapa obat saja, salah satunya obat batuk hitam. Saran dari dokter hanya jaga kondisi si anak jangan sampai drop lagi. Jadi di rumah sakit ya cuma numpang tidur, makan dan minum dengan jadwal yang sudah ditentukan.
No comments:
Post a Comment