Saturday, April 25, 2020

Pengalaman Urus Anak Idap Bronkopneumonia (1)

Tema kali ini berkaitan dengan kondisi yang dirasakan manusia di Bumi. Serangan dari Virus SARS-COV 2 ini membuat semua belahan dunia panik. Saya tidak mau turut pusing dengan pembahasan pandemi ini bagian dari Teori Konspirasi yang direncanakan oleh sekelompok orang berpengaruh kuat. Intinya, saya cuma berharap kondisi dunia membaik.

Saya sendiri sudah cukup pusing mengurus anak saat Januari 2020. Harusnya kami bisa liburan untuk merayakan ulang tahun ketiga dengan suka cita. Tapi kami harus melakukan hal yang sebaliknya. Anak saya harus dirawat di rumah sakit karena diagnosa bronkopneumonia. Panik bukan main karena gejalanya menurut saya tiba-tiba. Sekarang, saya cerita tentang pengalaman saya merawat anak saya ya. Jujur, menurut saya gejalanya mirip dengan Covid19/

Berawal dari anak yang malas bangun tidur pagi pada hari Minggu (05/01/2020). Biasanya dia semangat untuk nonton kartun sesuai jadwal tayang. Diajak main bola dan berlari juga tak semangat dan lebih banyak diam dan duduk. Makan juga tidak napsu. Memilih makanan, tapi sesudah diambil dan disuapi hanya makan satu atau dua suap. Saya pikir dia lagi Gerakan Tutup Mulut (GTM), tapi melihat dia meminta bukanlah GTM.

Awalnya saya tidak merasa ada yang aneh karena dia masih biasa berceloteh dan bermain puzzle atau masak-masakan. Meminta saya menjadi partner mainnya. Hanya saja saya melihat anak saya malas gerak, hal itu mengidentifikasi dia tidak baik-baik saja. Benar saja, siang hari mulai demam dengan suhu diatas 38 derajat celcius. Semakin memburuk sampai hari Selasa. Saya paksakan datang ke dokter spesialis anak subbidang neurologi. Karena anak saya pada senin malam sempat panas mencapai 40. Saya takut syarafnya kena karena suhu yang terlalu tinggi.

Setelah dari dokter, hasil darahnya menandakan dia ada infeksi virus dan bakteri. Bukan Dengue atau Typhus. Karena semuanya saya minta periksa, padahal saat itu asuransi kesehatan dari kantor suami sedang bermasalah. Amplop uang darurat mau tidak mau harus terbuka dengan aliran yang besar. Tapi balik lagi, urgensi seperti inilah gunanya si uang darurat.

Dokter hanya bilang, anak saya harus banyak istirahat, tidak ada radang, berarti dia bisa makan apa saja tanpa pantangan. Diberi obat dan disarankan untuk kembali dalam tiga hari jika tidak membaik. Malam hari, anak saya masih demam tapi tidak tinggi.

Pagi di hari Rabu, satu-satunya yang dimakan anak saya dari hari Minggu tidak makan normal adalah Ayam Golden Aroma dari A&W. Dia lihat iklan yang menayangkan ayam tepung. "Ma, aku mau Ayam." Langsung saya cari pilihan pesan makan dari aplikasi ojek online. Paling dekat ya si A&W, tak sampai 15 menit ayam datang, anak saya makan semuanya dari kulit sampai daging dan sisa sedikit saja daging yang menempel di tulang. Senang bukan main. Badannya juga terlihat lebih fit. Kami bermain di luar rumah, berlarian. Tapi masih lemas. Malam hari, suhunya mencapai 40,3 derajat celcius. Anak saya sudah tidak respon saat saya bangunkan. Sesekali dia terlihat seperti kaget dan sek-sekan (seperti sesak efek menangis tersedu-sedu). Suami saya sudah merasa ini hal yang tidak beres dia segera beli Ibuprofen Supp. Suhu badan langsung turun.

Kamis pagi, normal seperti tidak ada apa-apa semalam. Dia bangun pagi, tapi terlihat matanya sayu. Saya suapi telur ceplok dia mau sampai 2 suap saja. Lalu lanjut tidur saat menonton kartun kesayangannya.

Sampailah saya di Jumat, hari ketiga dari visit dokter. Keadaan anak saya memburuk. Sangat tidak biasa responnya saat saya ajak ganti diapers dan baju karena suhu badannya yang tinggi menyebabkan keringat terus membasahi bajunya. Sudah lapor ke suami, dia bilang oke untuk bawa lagi ke dokter. Kami sebelumnya sepakat untuk meminta dokter merawat anak kami di rumah sakit. Minimal ada asup makanan yang masuk ke tubuhnya karena lemas sejak Kamis siang.

Benar saja, malam itu anak saya tidak merespon semua pertanyaan dari dokter. Terlihat lemah dan lesu sekali. Dokter meminta saya dan suami untuk bawa anak ke lab untuk periksa darah lagi. Kali ini list  yang harus diperiksa banyak sekali. Saat sudah ambil darah dan menunggu hasil. Suami berinisiatif mengajak saya makan di foodcourt. Kebetulan sekali ada gerai A&W (fast food favorit saya sejak kecil). Ponsel saya berdering, dokter menelpon agar saya segera kembali ke ruangannya tanpa harus membawa hasil lab. Suami yang sedang menunggu pesanan makanan meminta saya pergi lebih dulu ke ruang poli anak.

Agak kaget sebetulnya, dokter tersebut meminta anak saya untuk rawat inap. Lalu menjadwalkan untuk rekam thorax. Ia menduga anak saya mengidap bronkopneumonia. Dia bilang penyakit itu sedang menjadi perbincangan antar dokter di beberapa rumah sakit dan tidak hanya di Indonesia. Jujur saya dan suami juga tahu soal pneumonia Wuhan yang ciri-cirinya hampir sama dengan anak saya.

Tak pakai lama, saya dan suami setuju untuk rawat inap. Suami juga sudah siap meminta surat jaminan rawat inap dari kantornya. Jadi, suami langsung mengurus administrasi dengan segala drama uang jaminan rawat yang kami lupa bawa. Bermalamlah malam itu saya di rumah sakit. Suami saya tidak menginap karena ruang rawat yang tidak memungkinkan untuk dua penjaga pasien.

Sabtu pagi, saya dan suami mengantar si anak periksa ke laboratorium radiologi. Lalu hasil radiologi dikirim ke ruang rawat inap pada malam hari, sehingga saat dokter visit ke ruangan hasilnya belum bisa dilihat. Kondisi anak saya memang lebih baik. Tapi masih lemas dan batuk yang sesekali berbunyi 'mengik'.

Minggu pagi, dokter datang membawa foto thorax. Saya dan suami pun mendengarkan diagnosa dokter. Fix, anak saya mengidap bronkopneumonia. Terdapat flek putih di bagian batang paru-parunya. Jujur, saya sempat shock saat mendengar hal itu. Dokter bertanya beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan kegiatan outdoor kami selama satu bulan terakhir. Ia menyarankan anak saya untuk rawat inap sampai hari Selasa. Alasannya agar bisa terpantau dan bisa di nebu untuk mengencerkan slem yang ada di paru-paru tersebut.

Seingat saya, dokter tidak meresepkan antibiotik. Vitamin dan beberapa obat saja, salah satunya obat batuk hitam. Saran dari dokter hanya jaga kondisi si anak jangan sampai drop lagi. Jadi di rumah sakit ya cuma numpang tidur, makan dan minum dengan jadwal yang sudah ditentukan.


Thursday, April 23, 2020

Urus Anak? Siapa Yang Pusing?

Setelah tiga tahun mengurus anak sendiri, akhirnya saya tahu sulitnya mama mengurus saya. Tidak banyak pilihan untuk orang lain mengurusnya karena saya sudah sah menjadi full-time mom. Jadi tidak mungkin saya pekerjakan orang lain, karena saya saja tidak punya pekerjaan tetap. Alhasil ya saya kerja serabutan sekaligus mengurus anak.

Perdana jadi ibu, drama kumbara juga terjadi pada saya. Kesulitan berkomunikasi dengan suami, jadi makan tiap hari dan waktu. Bawaannya mau gigit dan garuk-garuk tembok kalau lihat suami santai di rumah. Pengennya berbagi pekerjaan rumah saja. Padahal dari awal kami menikah sudah tahu tabiat masing-masing. Kebetulan suami saya bukan tipe yang aktif mengerjakan pekerjaan rumah. It's a fact. Tapi dia rajin mengirim uang ke rekening saya kalau melihat istrinya cemberut karena kurang tidur. Haha Nggak jadi marah deh sama dia. (Love You, Sayang!)

Oh iya, pertama kali anak sakit juga kami berdua pusing. Bukan cuma saya yang tiap hari bersama si anak, suami pun turut bingung antara pergi bekerja di kantor atau bekerja mobile sambil menemani saya mengurus si anak hingga membaik. Beruntungnya, suami saya bekerja di bidang kreatif yang (terkadang) tidak mempermasalahkan dia bekerja darimana (tapi harus sedia laptop dan sambungan  lancar internet). Intinya sih yang penting menghasilkan cuan walau tak ke kantor. Jadi, dia tetap bersama saya walau tetap bekerja di depan laptop. Setidaknya kehadirannya selalu ada walau kadang bikin kesel (dikit saja kok).

Hari pertama anak saya di rawat lagi di rumah sakit setelah extend 3 hari setelah saya sudah boleh pulang dari ruang rawat bersalin itu, si bocil usia 10 hari. Kebayang kan paniknya kayak apa waktu itu. Baru jadi emak-emak dengan drama per-susu-an. Galau mau kasih susu formula atau full ASI. Eh, si bocil malah sakit yang harus di opname.

Gagal sudah mau foto cantik si anak untuk upload di Instagramnya dia yang saya sengaja buat 10 jam setelah melahirkan. Buyar semua rencana emak emak gatel pengen belanja perintilan ini itu yang unyu, eye catching, dan makan enak untuk nyemil (eh).

Intinya, pengalaman saya ini cuma untuk sharing. Saya bersyukur punya suami yang selalu ada. Walau kadang tidak tanggap bantuan, tapi kalau diminta dia tidak bawel. Dia tahu bagaimana memperlakukan saya sebagai istrinya. Walau kadang suka bikin saya nangis karena salah paham. Dia juga cepat minta maaf dan membelikan saya something yang memang idaman saya.

Kelihatannya saya gampang banget dibujuk rayu ya. Hehe kebetulan sih emang iya. Senang saja jadi orang yang nggak ribet. Walau terkadang pemikiran saya dan suami tak sejalan. Kami tetap saling support. Tiap ada kesempatan juga masih sering cuddling kok. Waktu si anak under 6 month itu rewelnya minta ampun, kami juga ada drama kalau lagi kangen berduaan. Saat saya capek, dia semangat. Saat saya sudah siap, dianya sudah merem. Kalau diingat lagi, kesel sih. Tapi ya sudahlah, saat ini kami sudah sadar kok. 

Akhirnya saya bisa mengucapkan kalau saya senang bisa mengurus anak saya. Walau tidak bekerja di kantor, saya masih bekerja selama 6 bulan dari rumah setelah lahiran. Setidaknya income saya masih lumayan untuk jajan makanan dan dapat komentar dari mertua "Jajan lagi?". Saya tidak menjawab tapi suami saya yang nyengir-nyengir di depan orang tuanya.

Oh iya, dari pemaparan saya diatas, terlihat kan kalau porsi suami dan istri saat mengurus anak itu sama. Galaunya emak dan bapak itu sebetulnya sama. Beda di sikap tegar. Saya sebagai ibu lebih menye-menye sih sebetulnya. Tiap saya sedih dikit mewek sampe sesenggukan. Saya melihat suami malah ikutan panik karena melihat istrinya nangis. Akhirnya, dia terlihat tidak fokus dengan kerjaannya. Setelah tiga tahun jadi ibu beranak satu, saya tidak lagi menangis saat anak saya sakit. Saya pura-pura kuat. Walau sedih sih melihat si anak tiap tahun ada saja presensi di ruang rawat rumah sakit.

Saya jadi mellow nih. Sudah dulu ya. Tapi sudah jelas kan ya, tidak ada orang tua yang tidak pusing saat mengurus anak. Suami atau Istri yang bekerja juga pasti pusing memecah konsentrasi saat mengurus anak dan pekerjaannya dalam satu waktu. Banyak-banyak bersyukur dengan apa yang sudah kita punya juga bisa jadi refleksi tiap ada waktu luang. 

Tuhan selalu punya rencana yang baik untuk ummat-Nya. Saya percaya itu.

Tuesday, April 21, 2020

Serba Serbi Cari Uang Dari Rumah

Halo, salam kenal. Sebetulnya saya sudah lama berkecimpung dalam dunia blog. Hanya saja belum berani publish seperti para blogger lainnya. Awalnya, tidak ada keinginan saya untuk mencari uang dari menulis di media sosial. Semua just sharing. Hanya saja, semakin tua umur saya dan kesempatan bekerja semakin kecil. Mau tidak mau saya mulai menggeluti hobi saya di rumah. Kutak katik ponsel, cari foto menarik lalu iseng edit pakai beberapa aplikasi agar eye catching.

Saya tidak akan bercerita jaman kejayaan saya mencari uang sendiri sebelum menikah. Karena menurut saya itu akan sama saja dengan orang lainnya. Lulus kuliah, coba apply pekerjaan sana-sini lalu di interview dan disuruh menunggu panggilan berikutnya. Lalu setelah HRD menelpon dan nego gaji, mulai bekerja. Kadang bagai kuda, kadang juga bak puteri tidur yang menikmati waktu libur dan tidak diganggu nomor telepon kantor yang menanyakan kapan saya akan kirim kerjaan agar masuk kuota harian.

Jadi, setelah menikah saya tidak memiliki pekerjaan tetap seperti sebelumnya. Kantor saya memberikan dispensasi saat saya hamil untuk bekerja dari rumah. Lalu tak lama anak saya lahir, kantor saya pindah dan tutup kuota untuk pekerja di Jakarta. Selesai sudah karir saya.

Uang transferan dari suami sudah lebih dari cukup dari pengeluaran saya per bulan. Hanya saja ada beberapa pengeluaran yang kayaknya lebih enak dikeluarkan dari kantong sendiri bukan dari orang lain walau itu memang hak saya menerima nafkah dari suami.

Semenjak kelahiran anak, saya jetlag. Ibu dan Bapak mertua punya kesibukan di warung mereka. Saya sempat terpikir untuk berdagang juga. Tapi saya tidak punya ilmu dagang. Walau Papa dan Mama dulu sempat punya warung makan, saya tidak banyak belajar dari mereka karena saat itu terlalu kecil dan tidak tertarik buka warung juga.

Akhirnya, saya putuskan untuk mencari pekerjaan dari menulis. Ya! Saya mulai bergabung dengan whatsapp atau telegram group terkait ibu-ibu produktif. Mulai dari kesamaan hobi, akhirnya saya mendapatkan pekerjaan pertama saya setelah 4 bulan jobless.

Pekerjaan pertama saya adalah menulis artikel disebuah situs yang ditujukan untuk audiens perempuan. Situs tersebut ingin launching tapi belum punya konten. Jadi merekrut 100 ibu untuk menulis tentang parenting atau lifestyle. Untuk bayaran per orang dengan satu artikel sebesar Rp 100rb. Terlihat kecil jika dibandingkan gaji saya sebelumnya dan transferan dari suami. Tapi saya senang bukan main. Pekerjaan ini menjadi semangat untuk diri saya yang masih ingin berkarir dengan hobi dan menggunakan salah satu dari keahlian saya. Setidaknya ilmu selama saya kuliah bisa terpakai walau dengan bayaran seadanya.

Sayangnya, laptop suami yang saya gunakan untuk mencari pekerjaan lainnya rusak di bagian keyboard. Ambyar lah cita-cita saya memiliki quality time dengan laptop tersebut. Susah sekali bekerja menggunakan ponsel. Saya vakum dari dunia tulis menulis.

Tak hanya karena laptop rusak. Kesehatan anak saya juga perlu perhatian khusus. Obrolan emak-emak di Whatsapp group menjadi teman saya sehari-hari. Ikut diskusi dan event kuliah whatsapp. Lalu ada seorang teman yang bertanya "Mengapa kamu tidak mencari uang dari Instagram?".

Saya bingung maksud dari kalimat teman saya itu. Dia merasa, followers saya di Instagram terus bertambah karena banyak teman atau orang lain yang suka dengan foto atau informasi yang saya posting. Oh! Akhirnya saya mengerti maksud teman saya. Influencer itu datang karena disukai orang lain atas postingan yang bermutu. Kualitas dari tulisan di caption atau foto yang enak dipandang. Itulah kuncinya.

Karena sudah diberitahu akan hal itu, saya mulai merapikan feed instagram saya. Foto-foto saya re-upload dengan watermark copyright. Alasan saya melakukan hal itu karena tidak ingin ada yang menyalahgunakan postingan saya dikemudian hari. Setidaknya saya mulai menghargai hasil karya saya sendiri.

Sebelumnya, saya jarang memberikan apresiasi pada diri saya karena merasa useless. Tidak banyak berguna untuk orang lain. Tapi dengan berekspresi di sosial media dengan watermark atas nama sendiri, saya makin percaya diri.

Perkumpulan yang saya ikuti di Whatsapp group mulai berkembang. Tawaran menjadi campaign buzzer pun mulai datang. Seiring bertambahnya follower, pekerjaan ini semakin menarik. Akhirnya, jadilah saya sekarang. Mulai merapikan feed, menulis caption dengan baik akhirnya saya lakukan. Bukan untuk mencari uang saja. Kali ini saya ingin memberikan value dari branding diri saya sendiri.

Demikian cerita saya kali ini, untuk menulis dan cerita panjang memang tetap blog menjadi jawabannya. Saya sangat suka menulis pengalaman hidup. Mungkin nanti saya akan mulai menulis tentang keuangan dan parenting.

Semoga tulisan saya bisa diambil hikmahnya ya. Enjoy!

Ini 3 Resto Seru Dekat Summarecon Bogor